Jun 9, 2008

Entahlah, Kenapa Jiawaku

Lelaki itu kembali menggila. Kali ini dia berbicara tentang angin. Meracau betapa angin juga harus dihargai, angin merupakan bagian fundamental dari sistem jagat, angin adalah hal yang substansil.

Sumpah aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Sumpah!

Aku sama seperti orang-orang lain yang hanya sekedar lewat melalui jalan itu, hanya sebuah kebetulan lelaki itu ada di sana. Hanya sebuah kebetulan! Aku sungguh tidak akan percaya jika ini bukan kebetulan, lelaki itu hanya membual saat berkata aku bukan kebetulan di sana. Dia memang pembual!

Selain tentang angin lelaki itu juga berkata tentang keterkaitan, berbicara tentang aksi-reaksi. Lelaki yang terus meracau tentang sesuatu yang tidak kumengerti. Lelaki yang benar-benar parah. Dia gila!

”Wahai lelaki yang selalu tertunduk, pernahkah engkau menatap angin?” lelaki itu meracau.

Tidak ada yang peduli, sama sekali tak ada yang peduli. Tidak! Masih ada yang peduli, peduli karena kasihan. Aku tahu itu cuma aku. Tidak yang lain! Lalu akupun menggeleng.

Aneh. Biasanya jika ada sesuatu yang aneh orang-orang pasti berkerumun, namun kali ini tidak. Mereka tak ada yang peduli, sama sekali tidak. Seolah lelaki itu tidak pernah ada. Dan lelaki itu terus saja meracau, membuat perutku mulas mendengar kata-katanya, kata-kata yang bagiku tanpa arti. Hanya bualan kosong yang ditinggi-tinggikan.

”Angin adalah dirimu, angin itu hatimu. Terkadang sesuatu berubah dengan sedemikian cepat, namun semua memiliki jeda,” lelaki itu berbicara seolah langsung menuju telingaku. Namun aku sudah cukup tuli untuk mendengar ocehannya.

“Angin adalah sebuah fluida, yang memiliki sensitifitas terhadap tekanan. Dan dia akan mengalir ketika mendapatkan tekanan, mengalir mencari arah untuk melepaskan stress yang memuncah. Itulah angin saudaraku,” suara lelaki itu melantang, melengkingkan setiap kalimatnya, seolah orang-orang tuli tak mendengarkannya. Bukan tuli, namun sangat tidak peduli! Ingin kukatakan itu kepadanya, namun aku memilih untuk tetap diam.

”Lalu saat tekanan itu begitu mempat, angin akan berubah fasa mencari cair. Dan saat tekanan direnggangkan kembali, anginpun kembali berubah menjadi jati-dirinya. Kembali menjadi angin!”

Aku hanya menduga-duga, mungkin dia sedang monolog tentang pelajaran fisika yang diajarkan di sekolahnya. Namun apa hubungannya angin dengan perasaan, angin dengan jiwa, angin dengan… akh, apa peduliku. AKU SUNGGUH TIDAK PEDULI.

Lelaki itu tersenyum, tertawa, mengakak dan sekarang dia berjingkrak-jingkrak seperti ronggeng kesetanan. Menari-nari tanpa haluan. Sinting! Gila! Edan!

”Coba lihat jiwa-jiwa sekitarmu. Mereka adalah angin, mereka air, mereka tanah, mereka api”

Terhipnotis aku melihat sekelilingku, orang-orang tetap sama, lalu lalang, lelaki dan perempuan serta anak-anak. Tunggu, semua orang memiliki rupa yang sama, rupa dia. Lelaki, wanita, anak-anak mewujud menjadi dia. Sungguh edan, mungkin aku juga sekarang menjadi sangat amat tidak waras. What the hell…

”Perasaan mereka adalah angin, namun terkadang menjadi air lalu bercumbu serta dengan api dan menjadi tanah. Tidak perlu dipikirkan, bahkan akupun tidak pernah peduli. Aku tidak pernah mengerti”.

Sinting, tidak mengerti mengapa harus mengajarkan. Tidak tahu mengapa harus diutarakan. Orang edan dari RSJ mana yang lolos kali ini. Kemana petugas medic, cepat tangkap satu kambuhan ini. Bodoh… bodoh!

”Kau tidak perlu mengerti. Ceritakan saja ini seperti yang aku ceritakan. Mungkin kelak dimasa depan akan ada yang mengerti dan memahami. Mungkin bukan dirimu, mungkin dia anak-cucumu”. Lalu lelaki itu hilang bagai angin. DIA LENYAP! SUMPAH!

Mungkin aku memang sudah gila. PASTI








1 komentar:

Anonymous said...

walaupun ku baca berkali kali tina pun juga gak mengerti apakah iq tina begitu rendah ya any way god job

Tentangku :

My photo
Surabaya, East Java, Indonesia